Wednesday 30 March 2011

GAIRAH SANG DALANG

diambil dari majalah Reader's Digest bulan April 2011
oleh PRIATMOJO DJANOE, mengobrol dengan SUJIWO TEJO; dalang, penulis, penyanyi, bahkan sutradara.


RDI   :   Lakon wayang apa yang paling berkesan bagi Anda?
ST    :   Pandawa Dadu. Ceritanya, Yudistira -salah seorang Pandawa- kalah main judi dengan Duryudana -salah satu Kurawa- sehingga Drupadi, istri Yudistira harus rela ditelanjangi Duryudana. Bhisma, kakek Pandawa dan Kurawa, adalah orang yang sangat sakti, tetapi dia tidak melakukan apa-apa melihat Drupadi dilecehkan begitu rupa oleh Kurawa. Dalam kehidupan sehari-hari, seorang laki-laki yang tidak membela seorang perempuan yangsedang dihina di depan umum, di mata saya dia sudah mati saat itu juga.

RDI   :   Anda orang yang relijius?
ST    :   Nggak tahu, ya. Tetapi saya lagi mengusulkan, kalau orang yang menanyakan agama orang lain apa, dia dikenakan pasal perbuatan yang tidak menyenangkan. Bagi saya, begitu seseorang sudah mengakui agamanya apa, ibaratnya seperti orang yang sudah meraih gelar doktor. Dia jadi malas belajar lagi. Lebih baik tidak usah gembar-gembor, tidak perlu tertulis di KTP, tetapi cukup dari kegiatan beribadahnya saja kita tahu agama apa yang seseorang anut. Saya jadi takut membayangkan, satu hari nanti umat beragama menjadi sangat ekstrem, dan sapaan apa kabar tiba-tiba berubah menjadi, "Halo, agamamu apa?"

RDI    :    Contohnya?
ST     :    Saya melihat banyak sekali undang-undang (UU) di negara kita yang penjelasannya membingungkan dan tumpang tindih. Contohnya, UU Perlindungan Anak. Disebutkan, definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18. Tetapi dalam UU Perkawinan dijelaskan bahwa seorang perempuan sudah boleh menikah ketika dia berumur 16. Tidak sinkron, kan? Kalau si pembuat undang-undang matematikanya bagus, dia paham bahwa ketika a=b, maka persamaan-persamaan lain yang mengandung unsur a, harus bisa disubstitusi dengan b. Ketika sudah ditentukan batasan usia anak 0-18, dia tidak akan membuat peraturan yang menjadikan seolah-olah negara ini membiarkan anak di bawah umur menikah.

RDI    :     Apa pengalaman mendalang yang paling memengaruhi kehidupan Anda?
ST      :      Pada 1994 saya menciptakan lakon Semar Mesem. Inti dari lakon itu, Semar bukanlah pemihak Pandawa, tetapi dia berpihak pada kebenaran. Saya berpendapat, setiap orang memiliki kebenaran dalam dirinya. Semar berpihak pada kebenaran, jadi dia mengabdi pada kedua pihak yang sedang bertikai, Kurawa dan Pandawa. Saya mendapat permintaan memainkan Semar Mesem dari mana-mana. Saya sadar, masih banyak orang yang merindukan kebenaran di negara ini.



Saya pribadi merasa bangga bisa berada dalam panggung yang sama dengan sang dalang. Waktu itu sekolah saya menggelar pementasan Punakawan, dan ia menjadi dalangnya. Meski hanya dalam waktu singkat kami berada sepanggung -saya hanya menjadi salah seorang penari Kecak yang hanya muncul sebentar saat itu- tapi sekarang saya baru sedikit paham akan pandangan-pandangannya.  Tetap berkarya!
bagian berwarna biru ini ditulis oleh pembuat blog.

No comments:

Post a Comment