Thursday 17 March 2011

TENTANG PELECEHAN SEKSUAL

Jika Anda ditanya, pernahkan mengalami pelecehan seksual? Anda mungkin menjawab ya. Anda mungkin menjawab tidak. Tapi bagi yang menjawab tidak, bukan berarti Anda benar-benar tidak pernah mengalami pelecehan seksual. Lantas kenapa harus menjawab tidak padahal pernah mengalami? Karena Anda perempuan. Kenapa perempuan tidak bisa mengatakan kebenaran? Karena perempuan tidak dibiarkan tahu kebenaran.

Sudah sering kita dengar celetukan-celetukan para orang tua tentang bedanya punya anak laki-laki atau perempuan. Jika punya anak laki-laki, perhatian mereka lebih terpaku kepada bagaimana ia kelak bisa mencari nafkah dengan benar. Jika punya anak perempuan, perhatian mereka lebih terpaku kepada bagaimana ia kelak bisa mendapat laki-laki yang menafkahi dengan benar. Untuk itu laki-laki dibekali berbagai pengetahuan dan keterampilan supaya lebih mudah mendapat pekerjaan. Sementara perempuan dibekali pengetahuan dan keterampilan supaya lebih mudah mendapat laki-laki. 

Syarat-syarat menjadi perempuan yang mudah mendapat laki-laki sudah merakyat secara turun temurun. Bahwasanya perempuan harus perawan, harus pandai mengatur keuangan, harus sabar, harus bisa memasak, harus bisa memberi keturunan, harus pandai memuaskan suami di ranjang. Sementara syarat-syarat menjadi laki-laki hanya satu, pandai-pandailah mencari uang. 

Bagaimana jika seorang perempuan mengalami pelecehan seksual, terutama yang sampai merusak keperawanan, sementara sejak kecil kepala sudah dibombardir dengan informasi bahwa perempuan mutlak perawan dan jika tidak, berarti ia tidak akan laku? Mereka tidak berani mengaku. Selain mendapat ancaman dari pelaku, mereka sudah terancam oleh informasi atau syarat perempuan ideal yang berlaku. Bagi mereka yang mengaku, tak jarang yang didapat bukan dukungan melainkan penghinaan. Baik dari masyarakat luas, maupun dari pihak keluarga terdekat. Masih banyak orang tua yang merasa, perkosaan adalah aib bagi si korban, bukan aib bagi si pelaku. Aib harus ditutupi. Kejahatan mereka tutupi. Dan kenyataan ini membuat korban merasa terhina dan lebih terpuruk lagi.  

Tindak pelecehan seksual pun rentan terjadi pada anak-anak perempuan di bawah umur. Seks yang menjadi momok dalam kepala masyarakat membuat anak-anak tidak diberi pendidikan seksual semenjak dini. Seks ditabukan. Ditutupi. Upaya-upaya seperti ini dilakukan supaya anak-anak perempuan tidak menjangkau pengetahuan seks. Harapan orang tua, niscaya anak-anak perempuan mereka tetap suci hingga saatnya dipersunting mempelai laki-laki. Akibatnya, pelecehan seksual anak-anak dibawah umur banyak dilakukan justru oleh lingkungan terdekatnya sendiri. Anak-anak perempuan di bawah umur yang tidak diberi pembelajaran tentang seks dan tidak pernah mengetahui fungsi alat kelamin, dengan mudah ditipu oleh pelaku pelecehan seksual dengan mengatakan penisnya adalah permen loli. Vagina adalah neraka dan penis adalah setan. Jika penis dimasukkan ke dalam vagina, berarti setan tengah dimasukkan ke dalam neraka. Dan sebagainya, dan sebagainya, yang sayangnya, kebanyakan baru diketahui setelah semuanya terlambat. Semua baru terbongkar ketika anak-anak tertentu mengeluh sakit saat buang air kecil, atau panas tinggi akibat vaginanya infeksi.

Jika saja, ada keluarga yang mau berbesar hati menerima kealpaan mereka, lantas segera menempuh tindakan-tindakan semestinya, mulai dari tindakan hukum maupun terapi psikologis terhadap korban, apakah semua itu bisa mengembalikan hidup korban seperti semula? Dan bagaimana pula dengan nasib korban yang tidak mendapat dukungan dari keluarganya?

Tak banyak korban pelecehan seksual bersedia membuka pengalaman traumatisnya. Mereka takut menerima penolakan. Namun di sisi lain, mereka sebenarnya ingin sekali didengar. Tapi



Tulisan diatas diambil dari novel Nayla karangan Djenar Maesa Ayu, penerbit Gramedia Pustaka Utama.

No comments:

Post a Comment