Thursday 19 May 2011

Kebetulan...atau bukan?

Nah, ini sudah ketiga kalinya aku mencoba menulis artikel ini. KETIGA KALINYA. Pertama dan kedua, aku menulis langsung di blog. Sialnya, apesnya, keduanya kehapus karena aku tidak sengaja memencet suatu tombol di laptop. Entah tombol sialan apa yang kupencet ini. Ugh, karena itu aku menulis di ms word, supaya gak sakit hati karena data yang sudah capek-capek kutulis raib begitu saja.

Begini ceritanya, waktu itu aku membeli dua buku dalam waktu yang berdekatan, umum, saat liburan sekolah selama seminggu karena kelas 12 sedang ujian nasional. Buku pertama yang kubeli adalah Clockwork Angel karangan Cassandra Clare. Yah, secara aku penggemar berat malaikat, makanya mudah tertarik akan sesuatu yang berbau malaikat. Contohnya buku ini. Dua hari kemudian aku membeli buku The Girl Who Kicked The Hornets’ Nest karangan Stieg Larsson. Perlu ditambahkan, kedua buku itu tebal. Coba cari saja di toko buku. Persamaannya, kedua buku itu merupakan trilogi. Bedanya, serial Infernal Devices karya Clare baru buku pertama. Sedangkan The Girl Who Kicked The Hornets’ Nest adalah buku ketiga dari Blomkvist & Salander Trilogy karangan Larsson. Aku sudah membaca buku pertama dan keduanya, dan buku itu....jenius. Benar deh, meski awalnya aku merasa amat ngantuk saat membaca, kelamaan buku itu jadi amat menarik. Sampai di buku ketiga ini, rasanya jadi seperti ngisap ganja karena begitu nikmat dan bikin ketagihan. Bukan berarti aku pernah mengisap ganja sungguhan. Cuma metafora.

Di kedua buku yang sepertinya agak bertolak belakang ini (karena yang satu bercerita tentang makhluk separuh malaikat-separuh manusia, sementara yang satu bercerita secara nyata tentang kehidupan hacker dan jurnalis) aku menemukan bahwa kedua pengarang membahas tentang satu orang. Oke, seorang wanita. Seorang wanita pejuang yang sama. Mungkin karena tokoh utama dari kedua buku ini adalah perempuan yang digambarkan sama-sama berani? Pokoknya, pengarang mengacu pada seseorang Ratu yang sama. BOADICEA. Atau disebut Boudicca di The Girl. Karena itu aku merasa tertarik akan sosok ini sampai aku mencari keterangan tentangnya dari internet. Dan inilah hasil pencarianku.

Ratu Boudica, atau Boudicca, atau Boadicea, atau Boadicca, memiliki nama yang tidak jelas (terbukti dari begitu banyak perkiraan namanya) dan tanggal lahirnya juga tidak diketahui pasti namun dapat diperkirakan. Secara fisik, ia digambarkan sebagai seorang perempuan berambut merah yang panjangnya sepinggang, tinggi, suaranya yang keras seakan menuntut untuk didengarkan di pertempuran.

Saat penaklukan Romawi, Boudicca Ratu Inggris memerintah suku Iceni di Anglia Timur bersama suaminya, Raja Prasutagus (tanggal pernikahan dengan Prasutagus juga tidak diketahui). Banyak ketidakjelasan mengenai Ratu pejuang yang satu ini, orang tuanya tidak diketahui, darimana asalnya, kapan ia meninggal-bagaimana ia meninggal, atau dimana ia dikuburkan pun tidak diketahui. Selama ini dikabarkan ia bunuh diri karena menolak menyerahkan diri pada prajurit Romawi. Ia mempunya dua anak perempuan. Kesalahan Prasutagus adalah ia menyerahkan sebagian tanah kerajaannya kepada Pemerintah Romawi dengan harapan menjaga kerajaan bebas dari serangan. Tapi ternyata itu suatu kesalahan karena pemerintah Romawi tidak puas dengan pembagian ini dan menjarah seluruh tanah kerajaan itu dari bangsawan-bangsawan lainnya dan mereka masih belum puas.

Dikabarkan Boadicea dicambuk dihadapan banyak orang dan putrinya diperkosa budak Romawi. Kemarahan timbul dalam diri orang-orang Iceni melihat pemimpin mereka diperlakukan seperti budak dan mereka meutuskan untuk memberontak melawan Romawi. Disebutkan Boadicea berpidato dan mengumpulkan orang-orang untuk memberontak. Bukan hanya itu, ia memimpin banyak lelaki untuk berperang melawan Romawi.   Saat itu, tidak ada wanita yang ikut berperang bersama, apalagi memimpin peperangan. Hal itu dianggap amat tidak lazim. Benteng Romawi yang pertama jatuh adalah Camulodunum. Romawi tidak menduga serangan ini, apalagi karena sekitar 120.000 tentara berbaris dengan dipimpin seorang wanita.

Boadicea terus menyerang, kali ini ia menyerang Londinium. Londinium waktu itu bukanlah benteng militer tapi pusat perdagangan utama. Kota itu dihancurkan, dibakar, dan penduduknya yang tidak dapat melarikan diri, dibunuh. Boadicea melaju dengab kereta kudanya sebelum pertempuran, mendesak semua orang untuk menjadi berani. Ia menangis; ia berasal dari keturunan orang-orang perkasa tapi ia berjuang sebagai orang biasa untuk kebebasannya, memar di tubuhnya, dan anak perempuannya. Ia meminta mereka mempertimbangkan, menang atau binasa, itulah yang akan ia  lakukan, laki-laki dapat hidup dalam perbudakan jika itu yang mereka inginkan.

Mereka bertempur. Tapi pada akhirnya Romawi mengumpulkan kekuatan dan tentara Boadicea dikalahkan. Salah satu prajurit Romawi yang berpengalaman bernama Suetonius mengatakan bahwa Boadicea ‘hanya’ seorang wanita tapi karena didorong oleh kemarahan yang besar, keinginan membalas dendam dan membebaskan orang-orangnya, Boadicea bertahan. Tempat pertempuran terakhir ini tidak diketahui, sebagaimana nasib Boadicea sendiri. Diperkirakan 80.000 prajurit Inggris meninggal sedangkan hanya sekitar 400 orang Romawi yang meninggal dan banyak yang terluka. Boadicea dikabarkan selamat, tapi memilih menenggak racun daripada ditangkap bangsa Romawi. Ada yang mengatakan ia jatuh sakit (sakit karena racun itu?) dan apakah anak-anaknya juga meninggal dalam pertempuran itu. Tidak pernah diketahui.






Orang Inggris terkenang akan keberanian Ratu ini dan semangatnya untuk bebas dari penjajahan (ia memimpin salah satu revolusi Inggris yang paling berdarah) dan diabadikan dalam bentuk patung yang berdiri di tepi sungai Thames, dekat Westmister Bridge, persis bersebrangan dengan Big Ben. Sejauh ini Bodicaea digambarkan sebagai salah satu perempuan yang lebih berani dari lelaki saat itu.

Yah, aku mengerti sekarang kenapa kedua penulis itu menggambarkan tentang Boadica; karena ia seorang perempuan pejuang dan dengan keberaniannya ia berhasil membangkitkan semangat banyak orang untuk bertindak dan melawan penjajahan. Meski sekarang  kecil kemungkinan perempuan untuk mengangkat pedang dan maju ke medan perang (dengan segala kemajuan teknologi, untuk apa menggunakan pedang?) tapi masing-masing orang punya arena perang tersendiri. “There will always be battlefield,” kata Lancelot pada Arthur. Dan itu memang benar. Selamat berjuang. 

No comments:

Post a Comment